:Yi
di telinga ini
secara kebetulan kita belai membelai
merapat cepat
dan terbang sejadi-jadi
desahmu perlahan berbunyi rindu
lucuti raut mimpiku
aku terpukau
hingga selengang bukit hijau kutimang
segala pohon menggelegar
semua burung jatuh terkesima
sebentar aku pergi melepaskan diri
lalu kembali
cuaca tiba-tiba berangin
udara begitu dingin
tubuhku terasa sengal
sebab udara nyaris anyir
aku berlaga, tapi tidak main-main
menghindari remang dan mencari temaram
sebab aku begitu yakin
kau adalah cahaya yang didera derita
aku pun menunggu
menunggu seperempat wajahmu untuk dicarai
lalu menyimpulkan sepenuh daya
bahwa kau adalah kejujuran
tanpa ada yang menyebut kata itu
termasuk dirimu
Yogyakarta, 2008
MEMAHAMI LAUT
DENGAN KEMUNGKINAN
aku hanya ingin melihatnya dengan kengerian
di batas ayat yang mengalir
sebatas pesona keindahan yang berlebihan
mungkin.
mungkin laut adalah kebahagiaan tuhan
tanpa harus bermasturbasi hingga langgeng
aku mesti sedikait melukai perasaan
demi kengerian
yang sejatinya adalah cinta
mungkin.
mungkin tak perlu memaksamu
menyesali atas kebenaran
tenang atas kepiluan
sebab beginilah orgasme pada akhirnya
mari belajar congkak dan bersandiwara
demi kesetiaan
Yogyakarta, 2008
MELUCUTI BAJU
kalau ingin merenung kepulan api di mata ini
ada beribu harapan mematung
dibiarkan tanpa ada tangan dan bahasa
sampai kita bisa menyentuhnya
dan menyebut apa ia
aku tak hendak seperti biasa
seperti rumus, kita baca
simpulannya terus selalu itu saja
kita nyaris lupa mencipta mimpi
bahkan buat secarik sepi
kalau ingin merenung
sesuatu itu banyak
hanya kita belum bisa menemukannya
apakah ia
ia itu rahasia
cintalah yang menemukan jawaban atas itu
Yogyakarta, 2008
DI KAMAR TERAKHIR
berawal dari kemarau
impianku adalah kegairahan
yang pecah di garis tanganmu
keteduhan yang kita yakini dekat
menyusun kepergian diam-diam
segala rasa resah dan pecah
kukecup keningmu sembari bernyanyi
seperti tak ada sesuatu terjadi
ah, rasanya kau masih terikat
senyumku kau lumat
lalu serangkai kata baku kau muntahkan
jangan lekas tidur, katamu
: itu perpisahan
bukan kepergian yang sebentar, kataku.
Yogyakarta, 2008
SESEORANG YANG MENEMANIKU
dari kelahiran empat mata kita
sudah aku membacanya
sebelum lembar berikutnya
kusimpulkan di ujung ubunmu
barangkali aku mencipta pertemuan ini
dan menemainya sebuah diksi
yang sebelumya tak terwujud
kosong.
Yogyakarta, 2008
DEFINISI CINTA
cinta adalah seliar akar
bebas menjalar
menyerap sumber air
lirih meraba setiap benda yang ada
cinta bukan riak angin
selalu menginginkan dingin
reranting yang gemetar disana
bukanlah nurani penyair
harus sanggup melafalkan kata-kata yang kau mau
Yogyakarta, 2008
BEGITULAH BERMAIN CINTA
kelu adalah sunyi yang berbunyi
seperti kebodohan yang tertata benar-benar
lambat laun menjadi setenang purnama
di tengah tahu menahu saling memandang
mempertemukan kata-kata kita telanjang
dan menyelimutinya dengan ucapan
kemarin, sebelum wajahmu membual di sampingku
kegairahan kita amat kuat untuk mendekap cahaya
segala suram pun pecah
curahan mencerah dan tumbuh bersama
terdengar angin dengan keriangan liar
membawa langit semakin menyamping
kau begitu khawatir
seperti tutur kata dalam hatimu
kau benar
setelah wajahmu membual di sampingku
arus deras datang ke dalam jiwa
melukai usiaku yang separuh
dan menggerus segulung nafsu di mataku
dan sekarang, kau tak perlu khawatir
sebab begitulah bermain di dalam cinta
seperti laut selalu terikat pada arus
selalu ada pasang dan surut
Yogyakarta, 2008
SETELAH USIA
dalam gerutu jemari menari
itulah pemberontakan sesungguhnya
suara mantramantra merengkuhku
kesunyian pun tersapu entah diam dimana
seorang penyihir menyala di segala air
persis tinta jatuh ke tanah
tutupi siang dengan gerak tangannya
di wajah penyihir
tubuhku berguling dideru angin, tergilis
pasi seperti mayat melayang kesana kemari
aku batu dengan sayapsayap lumpuh
memahami nyeri luka usia
aku pencari, pohon dan batu
yang diam bertahuntahun menghafal suara khas
ketika orangorang lewat
ketika burungburung langit sleweran
dari sebuah dusun ke dusun lain
bukan matamata, bukan malaikat, bukan pengintai
aku matamata pada batu nisanku sendiri
dan selebihnya
dan saat kau buka
mimpi-mimpiku tegang
harapku berpijar garang
dunia tak pernah tahu ia dunia
nafas, angin dan ruh tak pernah tahu
ia ombak di hadangnya
dan hampir kau mengerti
tuhan selalu tenggelam di kejauhan
sejauh angan
kita ibarat darah dalam tubuh
menempuh kebosanan demi kebosanan
berputarputar membilang begitu saja.
dan hampir kau mengerti
rumusrumus alasanku
: kehidupan benarbenar resah
membuatmu harus menyelam dan terbenam
sebab kau butuh aku
persis saat kau datang
dentumkan guntur dalam dadaku
sebelum kilau bugilmu
menghujani tanah dan tanah airku.
dekatkan wajahwajah penempuh ejakulasi
kami berperang dalam ranjang yang bergairah
dan ranjangku pasrah dan jauh lebih bergairah
mereka akan datang berbondongbondong
mendekati objek cahaya
di kegelapan zaman yang tersisa
mengeja percik cahaya, menggambarnya sambil terbang
hingga tak ada waktu mereka bermimpi
dengarkan denyutmu yang menjelma segumpal awan terang
yang aku baca dan justru tersesat didalamnya
demikian kucinta kesesatan itu
kujadikan kebenaran yang setiap malam kulahap
sebab laparku seperti bumi yang bergeleng
berputarputar menyisir
TENTANG SENJA DAN LAUT
selesit cahaya kemerahan yang terpancang ke kamarku
segulung ombak pada laut yang kau kirim itu
masih belum bisa kutata menjadi angka
masih sepi untuk lahirnya carik-carik trigonometri
sebab jari-jari adalah hitungan angka yang bisa terbagi
dan cahaya adalah secepat kilat yang tak terbatas
bisa ganda dan terbagi
seperti air yang mengalir
berkali-kali dingin menjelma linear dan kudrat
tubuhku telanjang di tengah belantara kamarku
dan kerinduaku akan bajumu sering menggelinding
seperti elips, seperti kerucut dan piramida
membentuk persegi di kepala
selesit cahaya kemerahan yang terpancang ke kamarku
segulung ombak pada laut yang kau kirim itu
sesekali menyuruhku meminjam bayang-bayang temanmu
seperti Pascal,Newton,dan Pytagoras
aku manut pada kata-katamu
hingga aku menemukan kehidupan yang hidup
dengan belantara yang menjelma kalkulus,dan sin,cos,tan
lalu kuhitung angka demi angka
menata dan memadatkannya dengan menyerap energi belantara
agar aku bisa mendirikan menara pada tubuhku
(Yogyakarta,17-05-2008)
Orgasme
pertama kali.
aku tanam udara di jidakmu yang menjelma paruh
lalu seyum yang tumbuh
bisikan adalah khayalan yang jauh
juga kata-kata panjang pada tubuhmu yang rapuh:
kudapati ketika kusentuh kau luluh
meski peluhmu menanarkan lembar kertas
sebelum kutulis isi mahar
nanar menggetarkan kasur
kita menjelma ledakan dan keributan
antara malam dan subuh yang angkuh
mungkin ada sandi yang salah dalam peta
hingga aku harus gugur terkapar
menanggalkan angan
yang seharusnya harus kutulis besok
Kala Getir Bergetar
sering terdengar gelepar kelelawar
seperti bisik yang kucicip
seperti berita yang kubaca
melempar kiri mataku
perlahan sungguh menghujam layar
ada yang mengirimku jarum
melisut udara jalanan menjadi lebam
dinginnya lapuk menampar
hingga tangan tak mampu mengerat
apalagi mencatat
ia juga mengirimku boneka
sebagai kawan yang sepi pualam
tak ada pertanyaan atau diskusi
seperti mereka membuat larau dalam percakapan
dan tatapan yang laun telah ia ayun
Yogyakarta, 2008
Pisau Cukur
: Sripanya Varomahatera
kau dekat, pada mataku jauh
yang dekat di mataku justru kau amat
kau tersenyum?
sekedar kulepaskan hening pada siapa saja
untuk mengerat hawa dalam nadi
membelut bunga-bunga yang amat melekat
dengan kehampaan
inilah jubah, ikat pinggang, jarum, mangkok
dan sarang air
sebagai pisau untuk mencukur rambut kami
memahamimu aku menangis terkadang malu
kukepal tangan agar jiwa tumbuh kembali
dan terlelap oleh angin yang sepoi
tapi entah. aku mengirikanmu ketika perbincangan di kamar itu
dada kami seperti perih sejenak
Magelang, 08-04-2008
Sebuah Kisah Kasih
setiap ruang terasa patah
ketika kupilih untuk menghafal nama
yang teraba adalah sisa
sisa adalah aroma yang sengat
meretakkan kepala
Terlalu Cepat
ketika denyut menulis gerimis
maka saat itu harus kutulis
perjamuan huruf menyingkat pertemuan
bahwa kita mencipta kerinduanyang amat hebat
Madura, 2008
Hujan di Pagi Hari:
untuk Safitri
kematianku yang lalu lalang tadi malam
penuh berigsut, sayang
pagi ini sunyi juga mencekal
tapi tiba-tiba sungai mengalir deras
ketika rambutmu terurai gerimis
tebingpun runtuh
semua kilat berpijar hingga ke kamar
menyibak sajak-sajak yang tersembunyi
semua benda terasa pucat
kata-kata yang tersingkap menjadi lenting
tapi hanya sebentar
dan aku rasa mereka juga telah siuman
seperti perawan yang kedua kalinya
engkaupun tentu merasa apa yang kau igaukan semalam
sebab, pagi ini ada isyarat warna hujan yang kau lukis
seperti kau lukis warna kemarau
seperti puisiku yang menghitung rintik-rintik hujan
aku sentuh warnamu
ada yang basah, ada yang gelisah
ia bergetar menaiki desahku
akhirnya, kudekap warnamu
Yogyakarta, 2008
Riwayat Sajak
sebelum kulempar bersama khayal
puisi adalah alur secepat kilat
mengalir seperti air
ia bersemayam dan beranak pinak
dalam hiruk pikuk laut
yang ombaknya sering berlawanan
ketika ikan-ikan sekarat
segera kutulis kematian
sebelum kematian menulisku
dan segera kutulis kematianku
matilah ia dan tak menemukan tema
tentang wajahku yang tak ada yang biasa
yang ia kenal
seperti seniman, apa yang harus ia lukis dari wajahku
yang tak ada yang biasa
yang ia kenal
kau pelajari saja puisiku
jangan sampai ada pertanyaan
sebab aku tak cukup punya kata
bahkan untuk memanggilmu saja
Yogyakarta, 2007
Hikayat Sepasang Baju
seperti untai yang belum diucap
ada risih tersulam senyap:
kita memilih putih
seperti busur panah
membidik titik yang amat tengah:
kita adalah arah
mencipta sudut yang sama
tanpa kata, sebab kita mengerti
sebab kita berdetak di satu alur
lebur membaur dalam kapur
Yogyakarta, 2008
Malam Yang Lain
masih kugenggam aroma tubuh menjelang tidurku
bekas sentuhan bibirmu yang baru aku kenal.
dan masih aku ingat berpuluh bibir lain meresap dalam puisi
padanya kutemukan goncanagan-goncanagan cengang yang asing
aku simpan raungnya agar aku bisa membedakan
getar dan getir
sebelum bibir lain meledakkan diksi baru
tapi aku lupa memandang wajahmu
bagaimana daris-daris mengiris lidah
yang akhirnya ia mencipta kerinduan
tanpa aku sadari
dan kerinduanku menuang seluruh makna cinta
nafas menjadi gelombang
sebagai hirup melacak bau parfummu
mungkin juga jejak sepatumu
Yogyakarta, 2008
Awal Percakapan
senyummu yang sunyi aku ayun tergesa
kau sunyi, aku cari
aku buang, kau cengang
berteduh dalam ruang kita amat merindukan
untuk menikmatinya
hanya saja pagi terlalu jauh
bahkan malu untuk menyatakan
bahwa kita akan mencari dan menanti
sebersit embun
untuk kita tuang kedalam ceruk
kau aku harus jaga dari diam
dari siang yang tertegun
lalu berdiskusi tentang malam dan menjagakannya
dan kita bisa diam-diam
lari mencari pagi yang kita pilih
pagi yang tersembunyi
Yogyakarta, 2008
KIDUNG ULANG TAHUN
aku terima sepenggal mayang
dari pelepah siwalan
kumaknai airmata tanpa luka
dan kubiarkan ruang terpancang
menghimpit nafas dan arah angin
seperti lilin itu
usiakau telah mencair
disetiap sendi-sendi kalender
juga pada organ-organ laut
dalam doaku
dan kubiarkan udara menghempas jendela
dengan warna embun yang menyejukkan sajak
dan meneduhkan kamar
tapi, wajah siapa yang pertama harus aku tatap
untuk aku tanam udara di jidaknya
agar udara membawa impianku ke langit kemerahan
tentang lukisan senja pada puisiku
(11-05-2008)
SEBAB RINDUKU
LEBIH LIAT DARI BATU
sebab rinduku lebih liat dari batu
lebih dingin dari senyum
dan hanya jemarimu yang menetas tersibak
dari angan pada kenanganku
diam-diam kusergap jemarimu
seluruh penjuru pintu mengerang
menahan jerit peluh
akupun jadi akar
menjalar ke belukar
membawa airmu yang membual
ke seluruh sendi rinduku
meski akar dan rindu
tak mengenal sungaimu
Yogyakarta, 2008
ISOHIET
sebelum tumbuh menjadi angan
darahmu menulis sajak
serupa garis tertuju pada rusukku
aku baca warnamu
seperti menyuruhku menyibak air mata
melupakan gemuruh hujan
akupun baca matamu
seperti mengajakku mengeja kata
untuk mencipta suara
aku baca juga garis-garismu
seperti jerit jantung yang memanggilku
lalu aku menghampirimu
menyaksikan tarianmu
diantara tulang-tulang rusukku
:lekuk tubuhmu meledakkan isi kamarku
tempat aku menggali rindu
Yogyakarta, 2008
NAMAKU AYAT
namaku ayat
pasi seperti mayat
ayatku bukanlah ayat yang aku baca
yang aku baca adalah hayat
hayat adalah ayatku
seperti langit dan laut
ia baca dirinya sendiri
ayatku bukanlah namaku
namaku hanya memilih namanya
bukan ayat yang memilih hayat
ayatku membaur dalam nama
hayatnya terpisah dari ayat
maka namaku tak seperti hayatku
ia lebih seperti kabut dan gelombang
lupa baca dirinya sendiri
Yogyakarta, 2008
INSTRUMENTALIA
KAMPUNG HALAMAN
pagi ini sinar menjagakanku
terjaga dari hiruk pikuk mata
ada yang beda dari hari kemarin
tapi aku rasa tak asing bagiku
sebab embun pagi ini
seperti pernah hinggap mencipta sejarah
bagaimana kerinduan pada sunyi seketika luluh
ketika gurat desir angin
menyapu tetumbuhan yang amat lirih
anganmu tentu akan terbawa tertawa
ketika sesak sesering mungkin memikat
dan tiba-tiba ia lucuti rasa gusar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar