Citra DPR Mulai Remuk Redam

Tiga bulan yang lalu, pada tanggal 9 Desember. kita telah memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Dalam kaitan itu perlu dipahami oleh kita semua, termasuk pemerintah, bahwa korupsi sudah menjadi musuh dunia. Korupsi kini telah diakui sebagai kejahatan internasional juga diakui secara resmi merupakan musuh umat manusia dan tantangan besar untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa.
Kita mungkin terkejut atas penangkapan Abdul Hadi Djamal anggota Komisi V DPR dari Fraksi PAN pada 2 maret 2009 lalu, yang terjadi lima hari setelah pimpinan partai politik menandatangani Deklarasi Antikorupsi di Gedung KPK (26 Februari 2009). Akankah Deklarasi Antikorupsi itu hanyalah seremoni politik untuk menampilkan citra bersih parpol di mata rakyat menjelang Pemilu 9 April mendatang?.
Penangkapan Abdul Hadi merupakan ujian bagi DPR dan parpol untuk membuktikan komitmen antikorupsi yang telah mereka nyatakan. Pimpinan parpol yang telah menandatangani Deklarasi Antikorupsi harus mengambil langkah signifikan untuk membersihkan parpol dari pedagang politik yang telah mengkhianati rakyat yang telah memilihnya.
Pemberantasan korupsi yang cukup masif ternyata tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku yang melibatkan anggota DPR. Historisitas skandal korupsi dari pengalaman sebelumnya seharusnya menjadi koreksi bagi anggota DPR agar tidak menimbulkan sikap antipati dan sinisme politik rakyat terhadap parpol dan pemilu.
Dalam kasus korupsi tersebut, kita melihat bahwa wakil rakyat mengalami malfungsi dan disfungsi, bukan lagi mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah, malah memperjuangkan libido profit finansial elite di daerah. Masyarakat di daerah semakin diabaikan dengan ragam derita dan air mata karena telinga wakil rakyat disumbat oleh grativikasi elit di daerah. Inilah yang harus terus dikontrol oleh publik.
Tidak heran jika lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semakin tidak dipercaya oleh masyarakat. Berbagai kasus yang berkembang belakangan ini akibat perbuatan para anggotanya, menimbulkan cibiran yang cukup menyakitkan.
Perilaku korupsi elit politik di kursi DPR menambah buram potret politik Indonesia yang sarat akan penyakit tindak pidana korupsi. KPK pun telah menjaring pelaku korupsi mulai KPU, KY, BI, Kejagung, hingga DPR. Hal itu membuktikan bahwa sindroma korupsi telah mencemari institusi negara dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, lembaga yang seharusnya ironi atau emoh dari korupsi.
Benalu Sosial
Selain ditengarai sebagai epidemi, korupsi dipahami sebagai kejahatan terhadap masyarakat (crimes against society). Tindakan korupsi sesungguhnya sangat menyengsarakan rakyat.
Kemiskinan di sebagian negara berkembang terbukti disebabkan oleh buruknya pemerintahan akibat suap (bribery), penyalahgunaan wewenang, dan korupsi. Berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh pemimpin negara berkembang, seperti Sani Abacha (Nigeria), Ferdinand Marcos (Filipina), dan Fujimori (Peru), menunjukkan bahwa korupsi telah melahirkan instabilitas pemerintahan dan kemiskinan yang bersifat massal.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, dapat diterima jika kemudian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi dua konvensi yang secara khusus ditujukan untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi: Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime, 2000), dan Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption, 2003).
Perkembangan implementasi konvensi-konvensi tersebut di berbagai negara berbeda-beda. Pemerintah Indonesia, telah meratifikasi Konvensi PBB Anti-Korupsi dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2006, dan meratifikasi Konvensi PBB Anti-Kejahatan Transnasional Terorganisasi pada tahun 2008.
Meski dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berlebihan uang saja yang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat sekaligus candu bagi masyarakat.
Korupsi terjadi di berbagai negara, tak terkecuali di negara-negara maju sekalipun. Di negara Amerika Serikat sendiri yang sudah begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang primitif dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang efektif, korupsi relatif jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya sektor ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu terutama di kalangan pegawai negeri untuk melakukan praktik korupsi dan usaha-usaha penggelapan.korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relatif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara memberikan uang pelicin (uang sogok).
Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus diberantas dengan upaya penanggulangan korupsi yang sifatnya preventif maupun yang represif.
Stereotip Negatif
Salah satu isi sumpah jabatan yang diucapkan anggota DPR Ketika dilantik adalah setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Kita mengerti, bahwa Pancasila dan UUD 1945 sama sekali tidak menghendaki perilaku korupsi. Bahkan konstitusi melarang setiap pejabat dan penyelenggara negara, termasuk anggota DPR untuk menerima uang yang tidak sesuai dengan peraturan.
DPR adalah lembaga yang diisi oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih lewat proses Pemilu. Jadi para anggota DPR adalah pemimpin rakyat. Pemimpin yang dipercaya untuk menjadi wakil rakyat di ranah pengambilan kebijakan publik. Namun, ketika para wakil rakyat tersebut bertindak korupsi, maka pada saat itulah terjadi pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat.
Terungkapnya kasus korupsi yang tidak sedikit melibatkan anggota DPR semakin memperburuk citra institusi tersebut di mata publik. Ironis sekali ketika DPR sebagai lembaga legislatif turut menyumbangkan bersemainya praktek korupsi di Indonesia dengan berbagai kasus korupsi, suap dan grativikasi yang melibatkan mereka. Seolah-olah menjadi pembenaran bahwa praktek korupsi di DPR merupakan hal yang biasa terjadi. Dan jika sebagian dari angora DPR ada yang tertangkap hanya dianggap sedang mengalami nasib sial.
Dalam setiap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selalu muncul petunjuk bahwa praktik suap/korupsi itu selalu melibatkan anggota DPR lainnya. Namun, hanya karena problem pembuktian hukumlah, mereka yang disebut terlibat itu tidak bisa disentuh karena minimnya alat bukti.
Dalam catatan ICW, dalam dua dekade terakhir, sudah ada sembilan anggota DPR yang diseret oleh KPK karena terlibat kasus korupsi. Mereka adalah Noor Adenan Rozaq (mantan anggota dari fraksi Reformasi), Saleh Djasit (anggota komisi VIII dari fraksi Partai Golkar), Al-Amin Nur Nasution (anggota komisi IV dari fraksi PPP), Antony Zeidra Abidin dan Hamka Yadhu (keduanya mantan anggota komisi IX, Keuangan dan Perbankan), Sarjan Taher (anggota komisi IV dari fraksi Partai Demokrat), Agus Tjondro (anggota komisi XI dari fraksi PDI Perjuangan), Bulyan Royan (anggota komisi V dari fraksi PBR) dan yang terakhir Abdul Hadi Djamal (anggota komisi V dari fraksi PAN) yang ditangkap pada 2 februari lalu. Perilaku dari kesembilan pelaku tersebut adalah potret sebagian besar pejabat dan elit politik di negeri ini, suatu kultur kleptokrasi. Dan ironisnya lagi, diantara anggota DPR yang tertangkap oleh KPK tersebut berasal dari partai politik yang identik dengan partai Islam.
Secara kasat mata, potret kasus suap seperti itu di DPR mungkin sulit dibuktikan. Tetapi nurani masyarakat yang telah mencium adanya kebobrokan pada sejumlah anggota dewan memberikan pembenaran adanya kasus seperti itu. Dengan munculnya kasus suap di anggota dewan, saat itulah citra DPR RI semakin merosot.
Ironis bahwa ternyata anggota DPR tidak mengambil pelajaran dari kasus yang menimpa sebelumnya. Seharusnya kejadian yang menimpa anggota DPR sebelumnya yang mencoreng nama baik lembaga DPR dijadikan pelajaran untuk tidak mengulang lagi. Tetapi tampaknya Badan Kehormatan DPR perlu memberikan sanksi yang tegas supaya kasus ini tidak terualang dan anggota DPR lainnya bisa mengambil ’ibrah’ (pelajaran).
Karena itu yang terpenting sekarang adalah bahwa rakyat Indonesia menjelang pemilihan umum 2009 harus pandai-pandai memilih dan memilah wakil rakyat yang kredibel, jujur dan amanah.
Rakyat harus pandai memilih wakilnya dengan tidak hanya melihat latar belakang partai dari seseorang tetapi juga track record dari para calon anggota DPR perlu diperhatikan. Ternyata latar belakang partai berbasis Islam tidak menjadi seorang anggota DPR untuk tidak berbuat korupsi.
Masing-masing anggota masyarakat di daerah harus jeli melihat track record sang calon paling tidak sepak terjang sang calon di daerah pemilihan masing-masing.
Bagi partai politik, seleksi anggota partai yang akan diusung menjadi calon anggota DPR juga harus benar-benar diperhatikan. Partai tidak boleh hanya melihat dari besaran ’sedekah’ materi atau sumbangan uang yang diberikan oleh anggotanya kepada partai politik sebagai salah satu pertimbangan dijadikan calon anggota DPR.
Jika masyarakat gagal memperhatikan dan mengamati sepak terjang sang calon, dan partai politik juga kurang selektif dalam memilih calon-calonnya, maka jangan berharap korupsi anggota DPR tidak terulang dikemudian hari.
Maka, dalam rangkaian Pemilu 9 april mendatang di berbagai provinsi, kabupaten dan kota, masyarakat hendaknya waspada terhadap manipulasi janji para kandidat pemimpin maupun wakil rakyat yang berdalih memperjuangkan nasib rakyat dan mencintai rakyat selama berkampanye. Sebab, animo negatif pada realitasnya setelah meraih kekuasaan mereka justru mencari jalan bagi keuntungan sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat. Maka kedepan butuh untuk memperketat pola seleksi bagi pejabat negara khususnya DPR dengan kuat

Tidak ada komentar: