Menyingkap Mistik Soeharto
Judul Buku : Dunia Spiritual Soeharto,
menelusuri laku ritual, tempat-tempat dan guru spiritualnya
Penulis : Arwan Tuti Artha
Tebal : 130 x 200 mm; 197 hlm.
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Peresensi : Iqro’ L. Firdaus*
Perjalanan panjang rezim Soeharto berkuasa selama 32 tahun memberikan kesan bahwa dialah satu-satunya presiden yang paling lama duduk di kursi birokrasi. Rezim otoritarianisme Orde Baru yang menerapkan pemerintahan secara sentralistik, represif yang ditopang dengan kekuatan militer, sehingga ia piawai menakut-nakuti masyarakat kecil. Bahkan dari beberapa peristiwa yang terjadi disebabkan oleh meliterisasi: siapa yang melawan, nyawanya harus melayang, sebagaimana isu Petrus pada tahun 1980-an. Tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahib, Widji Tukhul, Ragil Pragolapati harus merelakan nyawanya demi kepuasan presiden kedua itu.
Sebenarnya, Soeharto tak lebih dari manusia biasa yang disinyalir bukan berasal dari keluarga kaya, pendidikannya pun rendah dan dia anak petani dari desa Kemusuk, kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Soeharto juga tidak memperoleh pendidikan kepemimpinan, tetapi ia pintar memanfaatkan keadaan guna mempercepat mobilitas sosialnya.
Tanpa harus membakar kemenyan atau dupa tidak terlalu sulit bagi Soeharto untuk mengubah Indonesia sesuai dengan apa yang dikehendakinya, karena kekuasaan yang digenggamnya memang sangat menakjubkan. Undang-Undang pun bisa direkayasa untuk kepentingan kekuasaan dirinya. Keberanian melakukan apa yang sesuai dengan keinginannya tidak mungkin terjadi kalau kekuasaan tak digenggamnya. Kekuasaan yang saat itu digenggam menjadi mutlak, seakan-akan seoarang Rasul yang menerima wahyu dari Tuhan. Sehingga semua orang harus mengangguk sesuai apa yang diperintahnya.
Sebagai orang Jawa, ia punya komitmen untuk menjaga harmonisasi, hidupnya serba perhitungan. Menurut Geertz, kegemaran orang Jawa pada petung sangat terpelihara dan mereka percaya angka-angka itu berasal dari leluhurnya yang sangat keramat.(hal.37). Diakui atau tidak Soeharto dalam memegang tongkat kekuasaannya sampai dia mengundurkan diri pada 21 mei 1998, selama kurang lebih 32 tahun itu ia mempraktikkan perhitungan-perhitungan dengan semacam memilih kehidupan harmoni. Sebagaimana juga pendapat Robert Edward Elson, penulis buku Suharto, A Political Biography (2001), bahwa Soeharto selalu berhati-hati dan waspada. Ia hanya tertarik pada masa depannya sendiri. Ia akan lebih waspada lagi saat akan bergabung dengan kelompok tertentu. Ia harus yakin bahwa kelompok itu akan menang. Dia sangat pragmatis(Tempo, 17 Maret 2202).
Dokumentasi foto-foto tempat Pak Harto melakukan tirakat dan rumah guru spiritualnya dapat kita temui. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Soeharto adalah pribadi yang banyak dihubungkan dengan wilayah kejawen. Soeharto sangat mempercayai klenik kebatinan Jawa pedalaman yang kental, sebuah klenik yang hanya mengakui Islam dalam bentuk yang lebih estoteris dan hukum agama hanya memiliki kekuatan kecil. Klenik dalam pengertian yang luas tidak harus selalu bersifat negatif. Klenik membuat orang selalu berhati-hati, waspada dan segala sesuatunya dihitung baik buruknya, dan akan berakhir dengan baik pula. Dalam dunia inilah Soeharto menemukan kedamaian batin yang bisa menjelaskan gaya kepemimpinannya yang berkepala dingin selama bertahun-tahun.(hal.14)
Buku yang ditulis oleh Arwan Tuti Artha menjelaskan bahwa sebelum dan selama Soeharto berkuasa ia memiliki guru spiritual, dan tak jarang ia berziarah ke tempat-tempat keramat semisal Gunung Selok dan Gunung Srandil di kawasan Cilacap. Dari kehidupan spiritualnya, Soeharto menempuh perjalanan panjang untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia dari zaman penjajahan masa kolonial Belanda, zaman Jepang kemudian masa kemerdekaan. Ia juga nglakoni seperti puasa, baginya puasa bukanlah hal yang baru dan tidak meninggalkan warisan leluhur seperti mengadakan upacara selamatan untuk keluarganya.. Kalau sudah dipahami oleh masyarakat bahwa Soeharto melakukan hal seperti itu,siapa yang berani melawan mereka?sehingga tak heran beberapa kali Soeharto mau dijerat hukum meleset bagai belut, sampai akhirnya akhir-akhir ini Soeharto menjadi polemik. Ditengah sakitnya, ada yang berpendapat Soeharto bersalah(tersangka) dalam beberapa kasus besar dan harus tetap diproses hukum. Sebab dalam pembukaan UUD, Indonesia adalah negara hukum dan hukum harus tetap ditegakkan. Ada juga yang berpendapat bahwa Soeharto dimaafkan sebab banyak budi dan perjuangan Soeharto dalam mengembangkan Indonesia. Banyak perubahan-perubahan disebabkan perjuangannya selama memegang tongkat kekuasaan.
Pada rezim Orde Baru yang dibawanya ada dua pilar utama yang menopang kesuksesan Soeharto.Pertama, pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengerahkan konsep-konsep liberalisasi ekonomi seperti pembukaan diri terhadap masuknya investasi asing dan utang luar negeri. Kedua, stabilitas politik dianggap menjadi prasyarat bagi tercapainya tujuan yang pertama itu. Pilar-pilar yang dibangun Orde Baru itu memang membuktikan kondisi ekonominya lebih baik dari sebelumnya.
Orang boleh mengagumi apa yang terjadi selama Orde Baru berlangsung bersama para penguasa tunggalnya, yakni Soeharto. Kekuasaan yang amat luar biasa dengan militer sebagai kekuatan fisiknya itu nyaris menyamakan Soeharto dengan seorang raja yang sakti mandraguna. Apalgi dalam perkembangannya yang sangat sentralistik, semua kekuasaan bermuara pada diri Soeharto. Akhirnya buku ini patut untuk dinikmati khususnya pemerhati politik, mereka akademisi politik, para birokrat dan masyarakat pada umumnya sebagai bentuk transfering pengetahun dunia Soeharto dari pintu klenik (spiritualitas) sebab pada umumnya orang memasuki sosok Soeharto dari pintu politik.
menelusuri laku ritual, tempat-tempat dan guru spiritualnya
Penulis : Arwan Tuti Artha
Tebal : 130 x 200 mm; 197 hlm.
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Peresensi : Iqro’ L. Firdaus*
Perjalanan panjang rezim Soeharto berkuasa selama 32 tahun memberikan kesan bahwa dialah satu-satunya presiden yang paling lama duduk di kursi birokrasi. Rezim otoritarianisme Orde Baru yang menerapkan pemerintahan secara sentralistik, represif yang ditopang dengan kekuatan militer, sehingga ia piawai menakut-nakuti masyarakat kecil. Bahkan dari beberapa peristiwa yang terjadi disebabkan oleh meliterisasi: siapa yang melawan, nyawanya harus melayang, sebagaimana isu Petrus pada tahun 1980-an. Tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahib, Widji Tukhul, Ragil Pragolapati harus merelakan nyawanya demi kepuasan presiden kedua itu.
Sebenarnya, Soeharto tak lebih dari manusia biasa yang disinyalir bukan berasal dari keluarga kaya, pendidikannya pun rendah dan dia anak petani dari desa Kemusuk, kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Soeharto juga tidak memperoleh pendidikan kepemimpinan, tetapi ia pintar memanfaatkan keadaan guna mempercepat mobilitas sosialnya.
Tanpa harus membakar kemenyan atau dupa tidak terlalu sulit bagi Soeharto untuk mengubah Indonesia sesuai dengan apa yang dikehendakinya, karena kekuasaan yang digenggamnya memang sangat menakjubkan. Undang-Undang pun bisa direkayasa untuk kepentingan kekuasaan dirinya. Keberanian melakukan apa yang sesuai dengan keinginannya tidak mungkin terjadi kalau kekuasaan tak digenggamnya. Kekuasaan yang saat itu digenggam menjadi mutlak, seakan-akan seoarang Rasul yang menerima wahyu dari Tuhan. Sehingga semua orang harus mengangguk sesuai apa yang diperintahnya.
Sebagai orang Jawa, ia punya komitmen untuk menjaga harmonisasi, hidupnya serba perhitungan. Menurut Geertz, kegemaran orang Jawa pada petung sangat terpelihara dan mereka percaya angka-angka itu berasal dari leluhurnya yang sangat keramat.(hal.37). Diakui atau tidak Soeharto dalam memegang tongkat kekuasaannya sampai dia mengundurkan diri pada 21 mei 1998, selama kurang lebih 32 tahun itu ia mempraktikkan perhitungan-perhitungan dengan semacam memilih kehidupan harmoni. Sebagaimana juga pendapat Robert Edward Elson, penulis buku Suharto, A Political Biography (2001), bahwa Soeharto selalu berhati-hati dan waspada. Ia hanya tertarik pada masa depannya sendiri. Ia akan lebih waspada lagi saat akan bergabung dengan kelompok tertentu. Ia harus yakin bahwa kelompok itu akan menang. Dia sangat pragmatis(Tempo, 17 Maret 2202).
Dokumentasi foto-foto tempat Pak Harto melakukan tirakat dan rumah guru spiritualnya dapat kita temui. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Soeharto adalah pribadi yang banyak dihubungkan dengan wilayah kejawen. Soeharto sangat mempercayai klenik kebatinan Jawa pedalaman yang kental, sebuah klenik yang hanya mengakui Islam dalam bentuk yang lebih estoteris dan hukum agama hanya memiliki kekuatan kecil. Klenik dalam pengertian yang luas tidak harus selalu bersifat negatif. Klenik membuat orang selalu berhati-hati, waspada dan segala sesuatunya dihitung baik buruknya, dan akan berakhir dengan baik pula. Dalam dunia inilah Soeharto menemukan kedamaian batin yang bisa menjelaskan gaya kepemimpinannya yang berkepala dingin selama bertahun-tahun.(hal.14)
Buku yang ditulis oleh Arwan Tuti Artha menjelaskan bahwa sebelum dan selama Soeharto berkuasa ia memiliki guru spiritual, dan tak jarang ia berziarah ke tempat-tempat keramat semisal Gunung Selok dan Gunung Srandil di kawasan Cilacap. Dari kehidupan spiritualnya, Soeharto menempuh perjalanan panjang untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia dari zaman penjajahan masa kolonial Belanda, zaman Jepang kemudian masa kemerdekaan. Ia juga nglakoni seperti puasa, baginya puasa bukanlah hal yang baru dan tidak meninggalkan warisan leluhur seperti mengadakan upacara selamatan untuk keluarganya.. Kalau sudah dipahami oleh masyarakat bahwa Soeharto melakukan hal seperti itu,siapa yang berani melawan mereka?sehingga tak heran beberapa kali Soeharto mau dijerat hukum meleset bagai belut, sampai akhirnya akhir-akhir ini Soeharto menjadi polemik. Ditengah sakitnya, ada yang berpendapat Soeharto bersalah(tersangka) dalam beberapa kasus besar dan harus tetap diproses hukum. Sebab dalam pembukaan UUD, Indonesia adalah negara hukum dan hukum harus tetap ditegakkan. Ada juga yang berpendapat bahwa Soeharto dimaafkan sebab banyak budi dan perjuangan Soeharto dalam mengembangkan Indonesia. Banyak perubahan-perubahan disebabkan perjuangannya selama memegang tongkat kekuasaan.
Pada rezim Orde Baru yang dibawanya ada dua pilar utama yang menopang kesuksesan Soeharto.Pertama, pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengerahkan konsep-konsep liberalisasi ekonomi seperti pembukaan diri terhadap masuknya investasi asing dan utang luar negeri. Kedua, stabilitas politik dianggap menjadi prasyarat bagi tercapainya tujuan yang pertama itu. Pilar-pilar yang dibangun Orde Baru itu memang membuktikan kondisi ekonominya lebih baik dari sebelumnya.
Orang boleh mengagumi apa yang terjadi selama Orde Baru berlangsung bersama para penguasa tunggalnya, yakni Soeharto. Kekuasaan yang amat luar biasa dengan militer sebagai kekuatan fisiknya itu nyaris menyamakan Soeharto dengan seorang raja yang sakti mandraguna. Apalgi dalam perkembangannya yang sangat sentralistik, semua kekuasaan bermuara pada diri Soeharto. Akhirnya buku ini patut untuk dinikmati khususnya pemerhati politik, mereka akademisi politik, para birokrat dan masyarakat pada umumnya sebagai bentuk transfering pengetahun dunia Soeharto dari pintu klenik (spiritualitas) sebab pada umumnya orang memasuki sosok Soeharto dari pintu politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar