Ideologi Lokalitas Tarekat Wahidiyah

Judul buku : Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah
Penulis : Sokhi Huda
Tebal : xxviii + 372 halaman
Cetakan : I (Pertama), Juli 2008
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Presensi : Iqro' eL. Firdaus*



"Masuki, selami, alami dan pahami". Begitulah kira-kira nalar ketarekatan sebagai metode untuk mengetahui dimensi esoterik yang tidak mudah didekati oleh "orang luar". Tarekat sebagai dimensi esoterik ajaran Islam mempunyai segi-segi eksklusif menyangkut hal-hal yang bersifat rahasia (sirr). Bobot kerohaniannya yang amat dalam tentu tidak semuanya dapat dimengerti oleh orang yang hanya menekuni dimensi eksoterik ajaran Islam. Maka tidak jarang terjadi salah pengertian dari kalangan awam yang melihatnya. Di dunia Islam dikenal beberapa aliran tarekat besar, seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syathariyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, Tijaniyah, Idrisiyah dan Rifa'iyah yang merupakan anggitan dari para ulama Timur Tengah. Aliran-aliran tarekat tersebut terbanyak tumbuh berasal dari daerah Turki. Sedangkan tarekat yang merupakan produk asli Indonesia adalah Shiddiqiyah dan Wahidiyah yang cukup populer dan sekaligus kontroversial. Kedua tarekat itu muncul dan berkembang di Kediri, Jawa Timur. Aliran Wahidiyah yang didirikan oleh KH. Abdoel Madjid Ma'roef pada 1963 itu ternyata berkembang sebagai sebuah nilai spiritual ditengah-tengah masyarakat, bahkan tidak hanya didalam negeri, tetapi juga diluar negeri. Eksistensi Wahidiyah merupakan fenomena kultural tasawuf dalam wacana realitas sosial, keagamaan dan ilmiah. Kehadirannya dapat dibilang sebagai kontrol dan reformasi zaman umat manusia. Buku yang ditulis oleh Sokhi Huda ini menjelaskan bahwa sistem ajaran Wahidiyah menyediakan perangkat spiritual yang disebut Shalawat Wahidiyah. Shalawat ini (juga dengan ajarannya) merupakan produk atau susunan KH. Abdoel Madjid Ma'roef. Dia dikenal sebagai muallif shalawat Wahidiyah, bukan sebagai mursyid (guru tarekat), sebab dalam Wahidiyah tidak ada istilah mursyid seperti dalam tarekat-tarekat pada umumnya atau dalam semua tarekat yang ada. Maka dapat dipahami bahwa dalam Wahidiyah tidak ada baiat (janji) murid dihadapan mursyid. Pola relasi yang ada dalam Wahidiyah adalah relasi muallif dan pengamal. Semua pengamal adalah murid langsung muallif. Pola relasi ini tidak tersusun atas urutan pendiri, mursyid, sampai salik (murid) yang semakin lama semakin panjang jalur silsilahnya karena semakin panjangnya rentang masa hidup antara murid dan pendiri yang diantara keduaya terdapat mursyid-mursyid dalam Wahidiyah, pola relasi tersebut tetap bertahan, tidak semakin panjang, meskipun rentang masa hidup antara keduanya semakin panjang. Idealisme tasawuf yang dibawa oleh Wahidiyah diterjemahkan oleh muallif kedalam bentuk amalan ritual yang praktis untuk disajikan kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, Wahidiyah dapat diakses kapan saja, dimana saja dan oleh siapa saja, tanpa prosedur kesilsilahan. Ini merupakan terobosan baru dalam dunia tasawuf dan tarekat, dimana pada umumnya semua aliran tasawuf dan tarekat menyajikan sistem ajaran dan sistem amalan ritual yang ketat dan prosedural. Sebagai fenomena kultural, Wahidiyah ternyata berkembang pesat ditengah-tengah masyarakat. Bahkan dengan misi inklusivisme global (jami' al-'alamin), ia berkembang hingga ke manca negara. Barangkali karena sistemnya yang sederhanan dan praktis itulah sebagian masyarakat merasakan adanya daya tarik (attraction) terhadap Wahidiyah. Secara historis, aliran ini mengalami dialektika yang monumental. Ini ditandai oleh sejumlah respon, baik respon positif maupun negatif dan kritik-kritik ideologis dari para pemuka berbagai aliran tasawuf yang ada di Indonesia maupun dari kalangan sesepuh NU. Sebagaimana diketahui, NU menjadi lembaga yang berhak menentukan status "mu'tabarah" (sah) atau "ghair mu'tabarah" (tidak sah) bagi aliran tasawuf yang ada di Indonesia. Akan tetapi, karena prosedur pengamalan shalawat Wahidiyah yang praktis, tanpa proses baiat, banyak tokoh sesepuh dan strategis NU yang menjadi pengamal Wahidiyah. Dalam buku ini dijelaskan bahwa daya ketertarikan terhadap Wahidiyah diperkuat dengan akuitas pernyataan bahwa shalawat Wahidiyah merupakan interpretasi terhadap Islam yang dilakukan secara genius oleh pendirinya dan ditransformasikan secara terus menerus sehingga menjadi habitualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Ia merupakan tasawuf lokal yang menjadi ajang bagi para penganutnya untuk memenuhi gelegak keilahian dan menjadi wadah bagi pemenuhan kebutuhan spiritual yang tidak ada habis-habisnya. Ia menjadi medium untuk mengekspresikan gelegak ketuhanan dan kulminasi pengalaman keilahian yang tidak kunjung henti. Ritual di dalamnya merupakan proses untuk untuk menemukan Tuhan didalam kehidupan. Jika tidak ingin terlambat didalam proses pencaraian kehidupan duniawi maka ia bisa menjadi jembatan untuk sampai pada maqam keilahian tersebut. Samudra luas kehidupan yang seharusnya diisi dengan sifat dan tindakan keilahian tersebut terkadang tereduksi oleh keinginan duniawi sehingga menghalangi seseorang untuk menemui Tuhannya. Itulah salah satu motto Wahidiyah, Fafirru ila Allah. Dinamika historis Wahidiyah mengalami perkembangan yang signifikan pada saat sasaran jami' al-'alamin dan misi inklusivisme globalnya sedikit demi sedikit merambah ke berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara (Timor Leste, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Australia, Hongkong, Jepang, Arab Saudi dan Amerika Serikat). Misi inklusivisme global ini bukanlah sasaran program Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf, melainkan merupakan substansi ajaran dan sifat keterbukaan dalam proses legalisasi pengamalnya. Muaranya adalah, dalam aliran ini tidak ada batas sebagaimana aliran-aliran tarekat umumnya; yang ada adalah model gethok tular yang dalam istilah komunikasi disebut multi step flow coomunication, yaitu model penyebaran berantai; setiap pengamal Wahidiyah diberi hak untuk menyebarkan substansi, termasuk rangkaian zikir atau sistem amalan (awrad) dan ajaran shalawat tersebut kepada orang lain tanpa proses baiat. Oleh karena itu, banyak tokoh sepuh NU, penganut aliran-aliran Islam, pejabat negara, bahkan kalangan bromocorah menjadi pengamal shalawat ini. Buku ini memberikan sumbangsi dialogis dan wawasan ilmiah yang analitis, deskriptif dan komprehensif mengenai fenomena Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf lokal. Ia hadir untuk mengisi kelangkaan literatur tentang tarekat atau tasawuf yang bercorak lokal. Toh, realitasnya memang tidak banyak karya tulis tentang tarekat lokal dalam khazanah perbukuan Indonesia. Tulisan ini merupakan karya ilmiah akademis yang memprioritaskan dimensi pemahaman dan bukan menggurui, atau bahkan mencurigai. Maka buku ini sangat bermanfaat bagi pengamal shalawat Wahidiyah, orang yang tertarik dengan dunia tasawuf dan juga kalangan akademisi yang tertarik dengan fenomena tasawuf seperti ajaran, ritual dan dimensi ketasawufannya sebagai pattern for behavior untuk dipahami dan dipraktikkan atau dialami oleh pengamalnya.

8 komentar:

cuzz.zie mengatakan...

saya kurang setuju dg penulis cz penulis hanya melihat dari sisi sholawatnya tanpa ada pertimbangan laen seperti adanya ghauts hadza zaman.

Anonim mengatakan...

Mbak Susiana keberadaan Al Ghauts itu telah disepakati oleh para ulamak tasawuf. klau tidak percaya tolong anda buka segala kitab tasawuf salaf yang anda punya dan temukan jawabannya.

zacka mengatakan...

Lha wong sudah jelas Kok Di perdebatkan. Aku yakin dan percaya bahwa Gouts itu ada, dia adalah pemimpin zaman atau sebagin orang biasa memanggilnya Wali Qutub, dan itu ada dalam kitab tasawuf manapun, mungkin cuma beda nama atau istilahnya saja, tetapi maksudnya sama. walaupun aku tidak tau tentang wahidiyah, tapi aku pernah membaca buku-buku ajaran wahidiyah dan semuanya tidak ada yang menyimpang dari syari'at islam, justru itu adalah ajaran islam yang sebenarya. Dan bagi yang menetang ajaran Wahidiyah berarti sama saja dengan Menentang Ajaran Rasulullah.

kecubung batu permata mengatakan...

saya suka solawat wahidiyah ini..insya Allah siapa mengamalkan solawat ini akan bermimpi dengan Beliau Baginda Rosulullah..masalah ghaust g usah diperdebatkan itu masalah hati, jadi carilah dengan hati. Di thoriqoh2 lainpun semua muridnya menyatakan bahwa mursyidnya adalah ghaust. jadi yang mana ghaust/qutub itu ? jawabannya, banyak2 riadhoh dan memohon pertolongan kepada Allah..berdebat terus nanti hati kita jadi kotor jadi nafsunya yang menang.

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anonim mengatakan...

assalamualaikum;
pernah baca buku wahidiyah.
disana dicantumkan wewenang ghoust itu sendiri yaitu bisa mencabut dan meninggikan iman seseorang (wah inikan jelas syirik albar).
ya udah mending cabuutttt,,,yang jelas jelas ajalah...ahlusunnah waljamaah aja dah....afwan

revolusiana mengatakan...

Salam Tadzim,

Saya berjumpa dengan seseorang, Kakah, begitulah ku sapa dirinya...
"...sejak usia 20 tahunan ia telah meninggalkan dunia ramai, usia yang cukup muda pada zamannya. 43 tahun lebih ia berpuasa, dalam setahun hanya di hari tasyrik saja ia tak berpuasa. Selain sholat 5 waktu yang wajib, tiap hari ia melakukan seluruh sholat sunnah, sunnah-sunnah nawafil, tanpa kealpaan. Begitulah Kakah dalam kesendiriannya bermunajat mengejar CintaNya".

Kini usianya telah mencapai 69 tahun. Tak ada keinginan insaniyah kecuali terus riyadhoh, bermunajat menanti jawaban yang dijanjikanNya. Kini beliau sedang riyadhoh di Gunung Halimun Sukabumi...
Jika saya diperkenankan bertanya ke Antum, "Kakah" termasuk dalam kategori apa?
Sufikah, Walikah, Ulamakah atau apa?

Mohon dengan keridhoannya Antum dapat menjawab pertanyaan bodoh saya ini...

Wassalam,
-al faqir

http://revolusiana.blogspot.com/2010/05/blog-post.html

Anonim mengatakan...

Baik bruknya seseorang itu tergantung amalnya bkan dr golongan mna ia brasal ..ssungghnya allah dlm mnilai hmbnya brdsrkn sbrpa taqwa ia kpda tuhanya...
SESAMA MUSLIM JNGN SALING HUJAT... UNTUMU AMALANMU DAN UNTUKKU AMALANKU...